Sunday, May 1, 2011

cerpen


BINATANG

Dalam waktu singkat kota berubah menjadi lautan kepanikan dan ketakutanSuasana kota yang biasanya hingar bingar dengan kegiatan ekonomi dan bisnis, mendadak berubah menjadi kekacauan dan kebingu-ngan.
 Suasana benar-benar tak ter-kendali para pelaku bisnis di pusat-pusat bisnis meninggalkan aktivitas sehari-harinya dan ber-lari. Para birokrat di balik meja birokrasi meninggalkan pekerja-an rutinnya dan berlari. Para pendidik di gedung-gedung se-kolah dan universitas mening-galkan paper-paper mahasiswa, koreksian siswa-siswa dan berla-ri. Para pelajar dan mahasiswa meninggalkan buku-buku, diktat, tas, kalkulator, dan apa saja dan berlari. Para dokter dan parame-dis di rumah-rumah sakit, klinik, balai-balai pengobatan mening-galkan para pasien yang putus asa dan berlari. Para ibu-ibu ru-mah tangga dan babu-babu me-ninggalkan nasi yang belum di tanak, sayur yang belum digara-mi, piring-piring kotor yang be-lum dicuci, baju-baju yang belum dibilas dan berlari. Para copet di pasar-pasar swalayan dan di bis-bis kota meninggalkan dompet-dompet yang masih hangat dan berlari. Semua berlari dan berla-ri. Yang berkaki utuh, yang ber-kaki satu, pincang, buntung, se-mua berlari dengan caranya sen-diri. Semua berlari menuju satu titik Titik ketidakpastian. Titik nihil.
Apa saja yang pernah mereka dambakan menjadi tak bermak-na. Rumah mewah, mobil mahal, status sosial, jabatan basah, istri selebriti, semuanya tak bernilai. Mereka hanya menyisakan diri sendiri.
Kota benar-benar sepi. Sisa kejayaan kota-kota tinggal ser-pihan puing merana. Kota ter-luka, kota teraniaya. Serombong-an mahluk besar seukuran manu-sia berhati binatang tidak memi-lah menghadirkan kehancuran dan kehancuran kota-kota. Mere-ka menghancurkan yang terlihat, gedung-gedung, stadion-stadion, kolam renang, pusat pembelan-jaan, dan semua lambang kepo-ngahan peradaban. Mereka menghisap, memakan, menelan, melumat, mencincang, mener-kam, membinasakan. Senjata me-reka adalah kerakusan, kebo-hongan, kenistaan, keserakahan, dan semua lambang kepongahan peradaban. Kota teraniaya, kota terluka. Penduduk kota meronta, menghiba, meradang.
Kota terguncang. Kehidupan terkoyak oleh taring-taring keta-makan, kuku-kuku kekuasaan, orasi yang membinasakan sege-rombolan penyerbu menceng-kram jalan-jalan, mengacak sis-tem, merobohkan nilai-nilai, me-lumatkan sendi-sendi, mengoyak pilar-pilar. Tangan-tangan para penyerbu berlumur darah, kaki-kakinya berdiri di atas tumpukan sampah kehancuran kota. Mere-ka mengaum, mendirikan bulu roma, dan terus mengaum meng-hentikan denyut nadi. Cakar-cakarnya yang terkembang me-nyentuh apa saja menjadi kesia-siaan, abu percuma, menjadi tak menentu, menjadi tak berkepastian, menjadi tanpa bentuk.
Binatang-binatang penyerbu terus menggebu. Mereka tahu pikiran manusia, mereka tahu perasaan manusia, mereka tahu sistem manusia. Mereka tahu tak kenal malu. Penampilannya memalukan. Mereka bertelanjang kepala, telanjang dada, telanjang segala. Mana mata, mana telinga, mana perut, mana bokong, mana dan mana tak dapat dibedakan. Selebar apa mulutnya, seluas apa matanya, sebesar apa perutnya, sungguh fantastis. Mereka menelan aspal tak peduli. Mereka menelan berton-ton batu bara tak ambil pusing. Mereka menghirup gas alam tak pikir panjang. Mereka mengunyah hutan-hutan Kalimantan tak uasah bingung. Mereka menenggak bergalon-galon minyak mentah tak perlu muntah. Mereka dan mereka tak ubahnya monster-monster pergantian abad, yang berkelanadengan penuh haus segala.
Mereka binatang-binatang penyerbu. Hasrat mereka hanya menyerbu dan melumat. Mereka melumat bagai badai gurun, cepat dan liar. Semua yang tampak dilumat tanpa sisa. Semua kehidupan yang pernah berdenyut dilibas tanpa jeda. Yang ada hanya lari, dan lari. Tidak tahu harus menuju ke mana, berhenti di mana, berbelok di mana, beristirahat di mana, di mana dan di mana. Sirna.
Binatang-binatang penyerbu itu terus bergerak dari satu kota ke kota lainnya. Meninggalkan kehancuran dan ketidak-berdayaan. Setiap perlawanan hanya berakhir sama, lumat. Manusia tanpa hati tanpa nurani, lari. Berkelompok, berduyun-duyun, menaiki tebing, menuruni lembah, bersembunyi dan bersembunyi. Namun sang penyerbu terus memburu. Mereka tak kenal malu, tak kenal mundur. Target mereka adalah membinasakan hati nurani. Sang penyerbu paling takut apabila manusia menyimpan hati nurani di lubuk hati kecilnya. Sang penyerbu hanya dapat dikalahkan dengan kejernihan hati nurani, kebeningan iman.
Binatang-binatang penyerbu berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan cakarnya.
"Aku sudah menelan habis cadangan seratus tahun batu bara di suatu pulau."
"Aku sudah menghirup habis cadangan seratus tahun gas alam di suatu pulau."
"Aku sudah mengunyah habis cadangan seribu tahun kayu-kayu bermutu di suatu pulau."
"Aku bahkan sudah menelan habis pulau itu sendiri."
Binatang-binatang penyerbu bahkan membabat semua spesies binatang yang meniru ujudnya. Mereka ingin menjadi binatang yang paling binatang. Mereka ingin meninggalkan dongeng terhebat tentang binatang yang pernah menghuni planet bumi yang indah dan bagus, namun dihuni oleh manusia-manusia yang kehilangan hati nurani. Tanpa hati nurani, manusia menjadi sasaran perburuan sang penyerbu.
Sesama manusi berlomba mencari tanpa menyisakan, menggunakan tanpa mendermakan, menguasai tanpa membagi, menyimpan tanpa mengumpan, mereka akan menjadi korban dari perburuan binatang penyerbu. Mereka harus belajar dari kehancuran, mereka harus mengambil hikmah dari kepongahan, mereka harus memahami setiap jengkal kebangkrutan dari kebangkrutan mereka sendiri.
Binatang-binatang penyerbu terus menyerbu karena mereka hanya takut pada hati nurani. Dicari hati nurani, dimanakah?***

















Cerpen Sang Kancil dan Gurita Raksasa
Sore hari ketika Sang Kancil sedang asyik masyuk berjalan-jalan seorang diri di tepi Pantai Samas yang curam. Hari ini dia merasa perlu mempelajari jenis-jenis rumput yang tumbuh di tepi pantai. Mungkin suatu saat rerumputan pantai bisa dijadikan bahan makanan kala persediaan makanan di hutan menipis.
Tatkala Sang Kancil tengah mengamati rerumputan berwarna merah, mendadak terdengar suara keras menggelegar memanggil-manggil namanya. “Hai, Sang Kancil, aku ingin nasehat darimu.........!!!”.
Kancil kaget mendengar suara keras dari arah laut. Dilongokkan kepalanya mencari-cari arah suara, dilihatnya seekor gurita raksasa bertepuk tangan agak jauh dari pantai. Delapan lengan Gurita itu bergantian menunjuk-nunjuk serentetan batu karang yang berjajar menjorok ke arah laut dan menyuruh Kancil berjalan menuju dirinya.
Dengan hati-hati Kancil melangkahkan kaki menuruni tebing pantai dan melompat ke batu karang tersebut. Tak berapa lama kemudian langkah Sang Kancil berhenti di ujung deretan batu karang, tepat di hadapan Gurita raksasa.
“Aku punya masalah dengan dua orang anakku’ kata Gurita terbata-bata. Sebelum mengungkapkan masalahnya Gurita mengakui bahwa dirinya sangat terkesan dengan kebijaksanaan yang ditunjukkan Sang Kancil di hutan. Kata Gurita, kebijaksanaan Kancil tatkala menghadapi para pemburu telah tersohor hingga ke dunia bawah laut, sehingga dirinya rela berminggu-minggu nongkrong di tepi pantai untuk menanti kehadiran Sang Kancil -- yang menurut kabar burung camar -- kadang-kadang terlihat sedang meneliti tumbuh-tumbuhan di tepi pantai.
Sesaat kemudian Gurita bercerita tentang dua orang anaknya yang selalu bertengkar untuk memperebutkan makanan yang diberikan induknya. Setiapkali dia membawa pulang ikan, udang atau kepiting, dua anaknya berebut untuk memakannya. Semakin lezat makanan, misalnya si induk mendapat mangsa ikan hiu, maka semakin hebatlah pertengkaran anaknya.
“Mengapa tidak kau bagi dua saja?” tanya Kancil
“Itulah masalahnya Mas Kancil" ujar Gurita
"Kalau makanan aku bagi dua, mereka berebut memilih bagian yang dianggap lebih besar. Padahal ukurannya sebenarnya sama, hanya terlihat lebih besar karena ada tulangnya. Jika si adik disuruh memilih terlebih dahulu, maka si kakak akan memilih bagian yang sama. Jadilah mereka bertengkar. Jika si kakak yang memilih terlebih dahulu, maka si adik ikut-ikutan ingin porsi yang telah dipilih akaknya. Pusinglah aku dibuatnya” lanjutnya
“Ah, namanya anak-anak, mereka hanya perlu diajari sedikit tentang keadilan” kata Kancil
“Wah, gimana dung caranya?”
“Gampang banget. Ntar kalau kamu pulang dari mencari makan, taruh semuanya di hadapan anak-anakmu. Kemudian suruh salah satu membagi makanan!” ujar Sang Kancil
“Waduh, apa nggak malah lebih repot lagi nantinya. Mereka pasti berebut ingin jadi yang membagi makanan agar dapat bagian yang lebih besar!”
“Yang membagi makanan tidak boleh memilih terlebih dahulu. Jika si kakak membagi, maka adiknya yang boleh memilih makanan hasil pembagian. Begitu juga sebaliknya. Dengan cara demikian si pembagi akan berusaha keras agar dapat membagi makanan dengan seadil-adilnya” urai Kancil sambil tersenyum.
“Wah ide yang brilian sekali Sang Kancil. Besok aku akan suruh anakku bergantian membagi jatah makanan. Kuharapkan dengan cara itu mereka tak akan bertengkar lagi’ kata Gurita sambil bertepuk tangan kegirangan dengan kedelapan lengannya.
Sang Kancil tersenyum melihat Gurita kegirangan. Didalam hatinya dia tahu persis bahwa ada banyak cara untuk memaksa makhluk seperti anak gurita untuk bersikap adil. Ada banyak cara yang bisa dipelajari dengan mudah untuk membuat mereka bersikap baik (undil- 2010)
Salah Nurunin Resleting
Tumini seorang wanita dewasa pegawai sebuah kantor swasta asing pagi itu mau berangkat kerja dan lagi menunggu bus kota di mulut gang rumahnya. Seperti biasa pakaian yang dikenakan cukup ketat, roknya semi-mini, sehingga bodinya yang seksi semakin kelihatan lekuk likunya.

Bus kota datang, tumini berusaha naik lewat pintu belakang, tapi kakinya kok tidak sampai di tangga bus. Menyadari keketatan roknya, tangan kiri menjulur ke belakang untuk menurunkan sedikit resleting roknya supaya agak longgar.

Tapi, ough, masih juga belum bisa naik. Ia mengulangi untuk menurunkan lagi resleting roknya. Belum bisa naik juga ke tangga bus. Untuk usaha yang ketiga kalinya, belum sampai dia menurunkan lagi resleting roknya, tiba-tiba ada tangan kuat mendorong pantatnya dari belakang sampai Marini terloncat dan masuk ke dalam bus.

Tumini melihat ke belakang ingin tahu siapa yang mendorongnya, ternyata ada pemuda gondrong yang cengar-cengir melihat Tumini.

“Hei, kurang ajar kau. Berani-beraninya nggak sopan pegang-pegang pantat orang!”

Si pemuda menjawab kalem, “Yang nggak sopan itu situ, Mbak. Masak belum kenal aja berani-beraninya nurunin resleting celana gue.”











Kado Untuk Bapak
Dengan bekerja menjadi tukang ojek payung dan penjual koran mungkin Bagas bisa memberi hadiah untuk bapaknya.Sebulan lagi bapak berulang tahun yang ke 41 tahun.Bagas ingin memberi hadiah pada bapak dengan uang hasil jerih payahnya.
Sekarang memang musim hujan,jika pagi sampai siang cerah maka sore sampai malam hujan.Hujannya pun tak tanggung-tanggung,deras sekali.Tapi,hal ini malah membuat bagas bersemangat,karena penghasilannya akan makin bertambah.

Bapak Bagas berprofesi sebagai tukang becak,yang penghasilannya tak menentu.Bapak Bagas orang yang baik,bijaksana,rajin bekerja dan sangat penyayang.Bagas juga sangat menyayangi bapaknya.Sedangkan ibu Bagas berjualan kue dipasar tiap hari.Bagas adalah anak sulung,Bagas duduk di bangku SMP kelas 2.Bagas mempunyai dua adik perempuan yang masih SD.

Setiap hari,keluarga Bagas selalu sholat berjama'ah.Bagas melihat bapaknya mengenakan peci dan sarung yang telah usang dan lusuh.Sarungnya pun sudah penuh tambalan disana-sini.Sarung itu menjadi teman setia keseharian bapak.Bagas merasa miris,Bagas ingin sekali memberi kado peci dan sarung pada hari ulang tahun bapak.

Tak terasa,ulang tahun bapak tinggal 3 hari lagi.Uang yang terkumpul di celengan Bagas masih Rp .36.000,00.Masih kurang Rp.15.00,00 lagi.Bagas yakin pasti bisa mendapatkan uang tersebut dalam waktu 3 hari.

Hari ini tepat hari ulang tahun bapak.Uang Bagas sudah cukup untuk membeli kado itu.Setelah selesai mengojek payung,Bagas pergi ke Toko Muslim.Sebelum masuk ke toko,Bagas mengecek uangnya.Dihitungnya uang itu satu persatu.'impas' ucap Bagas.Tapi sayang sekali,dua orang berandal merebut uang Bagas dan membawanya kabur.Bagas mengejar kedua berandal itu.Di tempat sepi berandal-berandal itu berhenti.'Bang,tolong kembalikan uang saya' kata Bagas.'Punya nyali juga bocah ingusan ini,mau cari mati' ujar salah satu diantara mereka.

Kedua berandal itu menghajar dan menendangi tubuh ringkih Bagas.Bagas tak bisa melawan,Bagas hanya bisa merintih sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya yang banyak mengeluarkan darah.'Kurasa bocah ini sudak kapok,ayo pergi sebelum ada orangt yang melihat kita' ajak salah satu dari berandal itu.Bagas masih kuat menahan sakit dan nyeri di sekujur tubuhnya.Bagas duduk bersandar di tiang listrik di pinggir jalanan itu.Bagas menengadahkan kepalanya ke langit yang telah senja.Terdebgar suara adzan yang syahdu.Maghrib telah tiba,dengan hati kecewa karena tidak membawa kado untuk bapak dan dengan sakit yang tak terhingga.Bagas berjalan terhuyung-huyung dan terseok-seok menuju rumahnya yang lumayan jauh.

Setelah sampai di rumahnya,dengan keadaan yang parah Bagas bersujud di kaki bapak yang tengah membaca Al-Quran.Bapak jelas heran sekali,apalagi melihat keadaan Bagas yang seperti itu.'Maafkan Bagas pak,Bagas nggak bisa kasih kado di hari ultah bapak ini.Bagas emang nggak bisa jadi anak yang baik.' ucap Bagas sambil menangis.Lalu Bagas menceritakan semua kejadian yang di alami dari awal hingga akhir.
'Bagas anakku,Bapak sangat menghargai,senang dan bangga atas jerih payahmu.Dengan kamu nurut sama Bapak,rajin belajar,sholat dan membantu orang tua,itu sudah jadi kado yang indah buat Bapak.Bapak sangat bersyukur dan bahagia di karunia putra seperti kamu.Itu sudah jadi kado terindah Bagas.' Ucap Bapak tulus dan penuh wibawa.Mendengar itu Bagas tersenyum bahagia.Lalu Bapak dan Bagas berpelukan.'Terimah kasih pak' Kata Bagas.'Sudahlah Bagas,tak usah begitu.Kado terindah dari kamu tak hanya kamu berikan di hari ulang tahun.Tapi setiap hari,baktimu pada Bapak dan Ibu adalah kdo yang terindah' Ujar Bapak.

No comments:

Post a Comment